El Nino disebut-sebut sebagai biang keladi "ekspor asap" ke negara-negara tetangga akibat kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan pada medio Agustus-September 2006 yang lalu. El Nino merupakan salah satu bentuk penyimpangan cuaca yang dapat menimbulkan petaka kekeringan di sebagian besar wilayah Asia, termasuk Indonesia. Penyimpangan cuaca yang paling ditakuti para pelaku industri pertanian ini, merupakan hasil interaksi antara permukaan samudera dan atmosfer di kawasan Samudera Pasifik sekitar garis khatulistiwa (daerah tropis). Sesuai dengan namanya yang dalam bahasa Spanyol berarti Si Anak Kecil atau biasa juga disebut sebagai Si Anak Natal, fenomena penyimpangan iklim ini terjadi di akhir tahun (Desember-Januari). Dengan mencermati karakteristik El Nino, agaknya kurang tepat jika kita mengaitkan anomali iklim yang terjadi pada bulan Agustus-September 2006 yang lalu adalah akibat ulah El Nino. Lantas, apa yang menjadi penyebab kekeringan hebat yang melanda Indonesia di tahun 2006 yang lalu? Artikel ini akan sedikit mengupas satu bentuk penyimpangan cuaca yang berasal dari Samudera Hindia. Penyimpangan cuaca ini disebut sebagai peristiwa terbentuknya dua kutub (Indian Ocean Dipole).
Indian Ocean Dipole
Indian Ocean Dipole merupakan gejala penyimpangan cuaca yang dihasilkan oleh interaksi antara permukaan samudera dan atmosfer di kawasan Samudera Hindia sekitar garis khatulistiwa (tropis) dan di sebelah selatan Jawa. Interaksi itu menghasilkan tekanan tinggi di Samudera Hindia bagian timur (bagian Selatan Jawa dan Barat Sumatra) yang menimbulkan aliran massa udara yang berhembus ke barat. Hembusan angin ini akan mendorong massa air di depannya dan mengangkat massa air dari bawah ke permukaan, mirip dengan "bajak" petani yang mengangkat lapisan bawah tanah/lumpur ke permukaan. Akibatnya, suhu permukaan laut di sekitar pantai Selatan Jawa dan pantai Barat Sumatra akan mengalami penurunan yang cukup drastis (anomali negatif rata-rata sebesar 2 derajat Celsius). Proses terjadinya penyimpangan iklim di Samudera Hindia ini diilustrasikan dalam Gambar 1b.
Gambar 1. Ilustrasi proses interaksi antara permukaan samudera dan atmosfer di Samudera Hindia pada (a) kondisi normal dan (b) saat terjadinya Indian Ocean Dipole. Perbedaan suhu permukaan laut direpresentasikan oleh perbedaan warna; merah menunjukkan anomaly positif.
Aliran massa udara ke arah barat dan penumpukan massa air di bagian barat Samudera Hindia ini merupakan gejala fisik utama yang mengendalikan fenomena Indian Ocean Dipole. Gejala ini akan menimbulkan gelombang Kelvin sepanjang equator yang bergerak ke arah timur (berlawanan dengan arah angina). Gelombang ini pada gilirannya mengangkat lapisan thermocline (lapisan air yang merupakan batas antara massa air yang lebih hangat di bawah permukaan laut dengan air yang lebih dingin di bawahnya) di bagian Timur Samudera Hindia (Selatan Jawa dan Barat Sumatra). Ketika thermocline ini terangkat, suhu permukaan air laut menurun. Sebaliknya, di sisi Barat, gelombang ini akan menekan thermocline lebih masuk ke dalam, yang mengakibatkan suhu permukaan air laut meningkat, dan Indian Ocean Dipole pun berlangsung. Karena itu pula penurunan suhu permukaan air laut di sisi Timur Samudera Hindia (anomali negative) dan kenaikan suhu permukaan air laut di sisi Barat nya (anomali positif) disebut peristiwa pembentukan dua kutub (kutub positif dan kutub negatif suhu permukaan air laut) atau Indian Ocean Dipole.
Pembentukan dua kutub suhu permukaan air laut ini akan mengakibatkan pergeseran zona konveksi (zona pembentukan awan-awan yang berpotensi menimbulkan hujan), dimana zona ini biasanya terdapat di atas permukaan air laut yang hangat (anomali positif). Pada kondisi normal (Gambar 1a), zona konveksi berada di perairan pantai Barat Sumatra. Akan tetapi pada kondisi Indian Ocean Dipole, zona konveksi akan bergeser ke arah barat, ke daerah perairan di tengah-tengah Samudera Hindia dan perairan pantai Timur Afrika. Akibatnya, zona hujan pun akan bergeser ke arah barat, sehingga Indonesia akan mengalami kekeringan.
Bagaimana mendeteksi Indian Ocean Dipole
Seperti halnya El Nino yang di-indikasikan dengan Indeks Osilasi Selatan (indeks perbedaan tekanan permukaan laut di Tahiti dan tekanan permukaan laut di Darwin/Asutralia), maka fenomena Indian Ocean Dipole direpresentasikan oleh perbedaan suhu permukaan air laut di bagian Barat Samudera Hindia (daerah 50o-70o BT dan 10o LS - 10o LU) dan suhu permukaan air laut di bagian Timur Samudera Hindia (daerah 90o-110o BT dan 10o LS - 0o LU). Indeks perbedaan suhu permukaan air laut ini disebut Dipole Mode Index (DMI). Semakin besar nilai indeks ini, semakin kuat sinyal Indian Ocean Dipole dan semakin dahsyat akibat yang ditimbulkan.
Evolusi Indian Ocean Dipole dimulai pada bulan Mei/Juni, mencapai puncaknya pada bulan Oktober dan akan berakhir pada bulan November/Desember. Akibatnya, Indonesia yang biasanya mengalami musim hujan mulai bulan Oktober, akan sedikit mengalami perpanjangan musim kemarau. Kondisi kemarau di Indonesia akan semakin parah apabila fenomena Indian Ocean Dipole diikuti oleh fenomena El Nino. Jika kedua fenomena ini terjadi secara berurutan, seperti pada tahun 1997 - 1998, maka Indonesia akan mengalami musim kemarau yang panjang dan sangat dahsyat, dari bulan Juni hingga bulan Februari tahun berikutnya.
Kapan Indian Ocean Dipole unjuk gigi memang sulit diprediksi. Akan tetapi, upaya para ilmuwan untuk mempertepat prakiraan bakal munculnya gejala penyimpangan cuaca ini telah banyak mendatangkan hasil. Dimulai dengan analisa yang dilakukan oleh dua orang ilmuwan di Jepang Professor Toshio Yamagata dan Dr. N. H. Saji. Kedua ilmuwan ini melakukan analisa terhadap data suhu permukaan air laut di Samudera Hindia untuk periode 1958 - 1998 dan mengaitkan bencana banjir di benua Afrika bagian timur pada tahun 1961 dan kekeringan di Indonesia pada tahun 1994 dan 1997 dengan anomali pembetukan dua kutub suhu permukaan air laut di Samudera Hindia.
Dampak negatif yang ditimbulkan oleh Indian Ocean Dipole
Ulah Indian Ocean Dipole ini tidak hanya terasa di Indonesia, tetapi juga menimbulkan dampak negatif pada daerah-daerah lain yang mengelilingi Samudera Hindia. Jika di Indonesia dia menyebabkan kekeringan, maka hal ini bertolak belakang dengan daerah pantai timur Afrika dan daratan India. Wilayah-wilayah ini akan mengalami musim hujan yang berlebih, di atas rata-rata. Kelebihan curah hujan di Afrika ini berimplikasi pada meningkatnya penyeberan virus deman Rift Valley yang dibawa oleh nyamuk yang berkembang selama musim hujan. Sementara itu, daerah sebelah barat Australia akan mengalami musim dingin yang amat kering karena pengaruh fenomena Indian Ocean Dipole.
Gambar 2. Citra satelit yang menunjukkan kosentrasi chlorophyll-a di sepanjang pantai Selatan Jawa dan Barat Sumatera selama bulan November 1997.
Indian Ocean Dipole juga mengancam ekosistem turumbu karang di perairan sekitar kepulauan Mentawai. Terjadi Algae bloom (blooming phytoplankton) di sepanjang pantai barat Sumatra dan Selatan Jawa karena dipicu oleh meningkatnya intesitas upwelling (pengangkatan masa air di kedalaman yang kaya zat hara ke arah permukaan), seperti ditunjukkan dalam Gambar 2. Ledakan plankton ini akan mengakibatkan kekurangan oksigen di daerah perairan tersebut, karena ledakan plankton tersebut membutuhkan oksigen yang banyak untuk proses respirasinya. Akibatnya akan terjadi kompetisi antara plankton dan organisme lain (seperti terumbu karang) di perairan tersebut untuk mendapat oksigen yang ada dalam jumlah terbatas. Jika plankton berkembang lebih cepat dan menjadi lebih dominan, maka kelangsungan hidup terumbu karang di perairan tersebut akan terancam. Hasil analisis terhadap fosil terumbu karang di Kepulauan Mentawai yang dilakukan oleh ahli terumbu karang Australian National University, Nerilie J. Abram, mengungkapkan fakta bahwa kematian masal terumbu karang yang terjadi pada tahun 1961, 1994 dan 1997 bersamaan dengan waktu terjadinya fenomena Indian Ocean Dipole.
Letak geografis Indonesia yang sangat strategis di antara dua samudera; Samudera Pasifik dan Samudera Hindia; ternyata tidak hanya memberikan keuntungan, tetapi juga rawan akan fenomena penyimpangan iklim yang beraksi di kedua samudera tersebut. Oleh karena itu akan lebih baik jika kita terus memantau gejala-gejala penyimpangan iklim di kedua samudera ini, sehingga dampak lebih buruknya dapat diminimalisir. Upaya ini sebaiknya diiringi dengan kebijakan pemerintah terkait dengan mitigasi bencana untuk mengatasi dampak penyimpangan iklim yang kecenderungannya semakin meningkat, bukan sekedar "memamerkan" angka-angka kerugian yang diakibatkannya.
No comments:
Post a Comment